• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Ketika Ibu Bertutur

  • Parenting & Motherhood
  • Mental Health
  • Marriage Life
  • Family Traveling
  • Book Review
  • Kids Activities
  • Navigation Menu: Social Icons

You are here: Home / Mental Health / Mengelola Rasa Syukur

Mengelola Rasa Syukur

June 20, 2019 by Shinta Leave a Comment

Saya suka bertanya dan mengecek rasa dalam diri saya, apakah saya sudah mampu bersyukur? Apakah masih banyak keinginan yang sebenernya hanya nafsu dan ego saya sebagai manusia? Dan ternyata masih sangat banyak. Sebelumnya seringkali saya jumawa kalau saya sudah bisa bersyukur karena saya tidak banyak keinginan dan tuntutan dalam hidup ini. Saya mampu membedakan mana kebutuhan dan keinginan, lalu kemudian saya berusaha meminimalisir keinginan-keinginan yang sifatnya ya.. hanya keinginan. Saya pun tidak ngoyo mengejar banyak hal di dunia ini walaupun ya saya tetap berusaha meningkatkan kualitas hidup saya. Tapi balik lagi ke pertanyaannya, apakah saya sudah mampu bersyukur?

Alhamdulillah, saya selalu merasa dicukupkan oleh Allah dan Allah memberi nikmat yang banyak untuk saya. Tidak berlebih memang, tapi Alhamdulillah saya selalu merasa cukup. Tapi sebagai manusia biasa, terkadang terbesit rasa iri melihat orang lain yang mungkin keadaan ekonominya lebih di atas saya seperti beberapa hari lalu mengetahui seseorang yang saya kenal dan umurnya jauh lebih muda dari saya, tetapi sukses luar biasa, maa syaa Allah… ada sedikit terbesit pikiran, kenapa saya masih gini-gini saja yah? Dia sudah punya rumah, mobil, usaha, traveling kesini kesana, dan berbagai pencapaian lainnya, dan sedangkan saya? Koq ya begini-begini saja, astaghfirullah.. saya yang biasanya tidak terusik dengan hiruk pikuk dunia, mulai mengkalkulasi begini begitu, padahal saya tahu bahwa rejeki sejatinya murni 100% bagaimana Allah. Rasa syukur hilang dari diri saya.

Setelah dua-tiga hari pikiran negatif merasa bahwa “saya koq gini-gini aja” mulai pudar, saya berpikir ulang, apakah cara saya bersyukur sudah benar? Apakah saya sudah mampu mengelola rasa syukur saya? Saya mencoba mencari dan mendengarkan kajian-kajian lagi tentang salah satu kunci hidup di dunia ini, bersyukur. Saya belajar lagi bagaimana sih harusnya seorang Muslim bersyukur dan saya berjanji akan belajar dan berusaha menerapkan ini dalam hidup saya. Saya juga tidak akan menyangkal kalau saya masih sering iri melihat pencapaian orang lain, saya masih silau akan dunia dan masih banyak menginginkan ini itu yang sifatnya duniawi karena saya hanyalah manusia biasa. Saya merasa dengan lebih banyak menerima seluruh bagian diri saya sebagai manusia biasa, membuat saya lebih mudah untuk memperbaiki diri, belajar dan berkembang dari titik itu.

Dan bagaimana harusnya seorang Muslim bersyukur? Di salah satu kajian Ustadz Syafiq Basalamah yang saya dengarkan, Muslim bersyukur dengan tiga hal;

1. Yang pertama dengan hati. Bagaimana? Kita sebagai Muslim harus yakin bahwa semua nikmat ini murni dari Allah SWT, bukan karena “aku” seperti, aku sehat begini karena rajin olahraga, aku kaya karena kerja kerasku, dll. Rajin olahraga, pola hidup sehat adalah sebab dan ikhtiar kita, tapi nikmat sehat murni 100% adalah rizqi dan rahmat dari Allah. Begitu pula soal rejeki, kekayaan dan harta kita bukanlah hasil dari kerja keras kita. Kerja keras adalah bagian dari sebab, ikhtiar dan tugas kita sebagai makhluq, tapi hasilnya murni 100% dari Allah.

2. Yang kedua dengan lisan. Rasulullah senantiasa mengucapkan Hamdallah dalam segala kondisi karena sejatinya semua kondisi itu baik untuk Muslim. Ketika beliau mendapat nikmat, beliau mengucapkan “Alhamdulillahi lladzii bini’matihi tathimmus shaalihaat”. Dan ketika beliau mendapatkan kesulitan, beliau mengucapkan “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal”. Kenapa ketika susah pun beliau mengucapkan Hamdallah? Karena bisa jadi kesulitan tersebut jalan untuk lebih dekat kepada Allah, bisa jadi kesulitan itu menyelamatkan kita dari maksiat atau kesulitan yang lebih besar. Bisa jadi di balik kesulitan tersebut ada nikmat yang lebih baik. Wallahu a’lam.

3. Dengen raga/badan kita, digunakan untuk apa raga kita? Kemana kaki kita melangkah? Sudahkan hidup kita bermanfaat untuk orang lain? Apakah kita lebih banyak menyusahkan atau memberi manfaat bagi sesama dan sekitar kita? Apakah rizqi dan nikmat yang ada pada diri kita sudah berkah dan menambah ketaatan atau malah menjauhkan diri kita dariNya?

Filed Under: Mental Health Tagged With: islam, mental health, motherhood, parenting

Previous Post: « Manfaat Mainan Puzzle Untuk Perkembangan Anak
Next Post: My Mental Health Journey »

Reader Interactions

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Primary Sidebar

Hi, Assalaamuálaikum..
I am just an ordinary mother who likes to write things.. you can say talking about motherhood and everything in between including traveling or even rumbling about bad days, haha.. please enjoy my blog ^_^

  • Facebook
mobil mobilan

5 Rekomendasi Mainan Anak Laki-laki Yang Bagus

Mainan Anak Masak Masakan Home Kitchen Set

5 Rekomendasi Mainan Anak Perempuan Berdasarkan Manfaatnya

Alat music drum drumsforkids.com 1

15 Rekomendasi Mainan Edukasi Anak Usia Batita

Lompa Tali Dictio.id

10 Permainan Tradisional yang Bermanfaat Untuk Anak

Footer

  • Home
  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Term Of Service

Copyright © 2021 Ketika Ibu Bertutur on the Shinta