• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer

Ketika Ibu Bertutur

  • Parenting & Motherhood
  • Mental Health
  • Marriage Life
  • Family Traveling
  • Book Review
  • Kids Activities
  • Navigation Menu: Social Icons

You are here: Home / Parenting & Motherhood / Ketika Anak Menangis

Ketika Anak Menangis

November 19, 2019 by Shinta Leave a Comment

Apa reaksi kita kalau mendengar anak nangis atau rewel? Mayoritas kita sebagai orangtua pasti akan berusaha mendiamkannya kan? Kita berharap tangisannya reda. Entah karena kita kasihan dengan mereka dan tidak ingin mereka menangis atau karena kita tidak mau atau lelah mendengar tangisan atau rengekannya. Mungkin juga dua-duanya. Saya pun begitu, reaksi pertama yang muncul ketika anak menangis seringkali terlihat pada ucapan-ucapan saya seperti;

“udah jangan nangis…”

“kakak udah besar, jangan nangis terus…”

“udah dong, diem..”. ini kalau emaknya udah capek banget dan anak nangisnya belum berhenti-henti…

Tapi belakangan ini saya mencoba konsisten untuk menerapkan ilmu parenting yang sebenarnya sudah tau dari lama, tapi belum bisa saya terapkan. Menangis adalah bahasa komunikasi, terutama untuk anak-anak. Menangis adalah luapan emosi ketika mereka tidak mampu mengungkapkan dan mengekspresikan emosinya dengan kata-kata. Dan langsung melarang anak menangis tidak akan menyelesaikan masalah bahkan jika kita selalu berusaha melarang dan menahan anak kita untuk menangis –terutama pada anak balita-, hal ini akan mengakibatkan anak kita tidak belajar untuk mengenali emosinya lebih baik. Padahal, kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi adalah pondasi awal bagi anak untuk mempunyai kontrol diri yang baik. Dan ketika kita memberikan kesempatan menangis pada anak untuk meluapkan emosinya, anak akan merasa lebih dimengerti dan diterima yang akhirnya memudahkan mereka untuk mengelola emosi lebih baik dan lebih mudah menerima nasehat kita.

Credit picture: instagram @anakjugamanusia

Anak yang kita larang untuk menangis akan memendam emosi negatif dan dapat membuatnya tidak belajar untuk mengenali emosinya agar nantinya mampu mengeluarkan emosi yang sesuai atau yang seharusnya diluapkan. Biasanya anak tersebut akan melakukan perilaku seperti berteriak-teriak, memukul, dan lain sebagainya. Secara tidak langsung kita sebagai orang tua menghambat anak tersebut belajar untuk menjadi pribadi yang kuat, bahagia dan mampu berempati kepada orang lain.

Jadi akhir-akhir ini ketika si Kakak atau Ade menangis, saya berusaha konsisten untuk membantunya mengenali emosi dan perasaannya terlebih dahulu. Tidak mudah memang, dan masih suka kembali ke pola lama. Seperti beberapa hari yang lalu ketika Ade tantrum menginginkan remote AC dan saya tidak mengizinkannya karena bukan waktunya untuk menyalakan AC dan remote AC bukanlah mainan. Jadilah si Ade nangis teriak-teriak menginginkan remote AC. Yang saya lakukan pertama waktu itu adalah mengambil jarak sebentar karena saya pun tahu saya juga masih punya tantangan akan kontrol diri. Setelah saya merasa saya cukup tenang, saya tanya si ade;

+ “Ade kenapa? Ade kesal apa sedih?”

– “Kesel… Remote… mau remote AC…”

+ “Ade kesel sama siapa?

– “Ibu…. Mau remote AC..”

+ “Iya, maafin Ibu yah… tapi remote AC nya nanti yah… nyalain AC ada waktunya… kalau AC nya dinyalain terus, nanti listriknya mahal, nanti malam yah.. nanti Ade yang pencet”

Apakah berhasil? Well, jika ukuran berhasilnya adalah si Ade berhenti menangis, maka jawabannya tidak saudara-saudara, hahaha… si Ade tetap menangis. Dan yang bikin menguji keimanan dan kesabaran adalah, si Ade menangis kencang dan terus mendekati diri ke saya, Ibunya seakan-akan terus menuntut untuk permintannya dikabulkan. Dan ini berlangsung selama hampir sejam. Kalau katanya mengatasi tantrum adalah soal “kuat-kuatan sama anak” apakah kita akan bertahan untuk tidak mengikuti kemauannya atau anak yang akan menyerah untuk berhenti menangis. Tapi beda dengan anak pertama yang ketika masa tantrumnya lebih banyak dibiarkan, sekarang saya juga belajar untuk membantu anak mengenali emosinya, jadilah dialog seperti di atas berulang-ulang saya lontarkan. Dan ada waktu saya frustasi juga si Ade ngga berhenti-henti menangis kencang…

Tapi Alhamdulillah akhirnya Ade berhenti juga, entah kenapa, hahaha.. mungkin dia lelah, hahaha… Tapi yang bikin saya merasa senang dan bangga adalah, adik akhirnya memahami pesan yang saya sampaikan lalu mengungkapkannya dengan mimik senang dan tersenyum sambil berkata, “Nyalain AC nya malem ya Bu… nanti Ade yah yang nyalain..” Alhamdulillah…

Ibu-ibu bagaimana pengalamannya menangani anak menangis? Boleh yah di-share…

Filed Under: Parenting & Motherhood Tagged With: anak menangis, anak rewel, mengatasi anak menangis, mengatasi anak rewel, motherhood, parenting

Previous Post: « Weekend Murah Meriah di Playground Taman Lapangan Banteng
Next Post: Yang Paling Bertanggung Jawab akan Diri dan Hidup Kita adalah Diri Kita Sendiri »

Reader Interactions

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Primary Sidebar

Hi, Assalaamuálaikum..
I am just an ordinary mother who likes to write things.. you can say talking about motherhood and everything in between including traveling or even rumbling about bad days, haha.. please enjoy my blog ^_^

  • Facebook
mobil mobilan

5 Rekomendasi Mainan Anak Laki-laki Yang Bagus

Mainan Anak Masak Masakan Home Kitchen Set

5 Rekomendasi Mainan Anak Perempuan Berdasarkan Manfaatnya

Alat music drum drumsforkids.com 1

15 Rekomendasi Mainan Edukasi Anak Usia Batita

Lompa Tali Dictio.id

10 Permainan Tradisional yang Bermanfaat Untuk Anak

Footer

  • Home
  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Term Of Service

Copyright © 2021 Ketika Ibu Bertutur on the Shinta