
Mungkin salah satu yang menjadi PR terbesar saya dalam soal parenting adalah menahan marah hingga menahan diri saya untuk tidak memukul anak (Ok, you can judge me a mean or bad mother). Padahal sebelum menjadi ibu, menahan amarah tidak pernah menjadi isu dalam diri saya, saya selalu merasa diri saya cukup sabar, terkontrol, dan cenderung easy going. Tapi tidak setelah menjadi ibu, saya menjadi mudah sekali marah kepada anak saya, bahkan tidak jarang memukul atau mencubitnya. Terkadang saya sendiri bingung hingga membenci diri saya sendiri sesudahnya karena saya sendiri merasa terkadang amarah saya sudah tidak terkontrol dan saya seperti menjadi seorang monster, hiks hiks.. Tak jarang saya merasa kalau saya bersikap irasional bahkan berperikalu kekanakan ketika menghadapi anak saya. Dan lagi-lagi pertanyaan yang sering muncul adalah, “kenapa saya seperti ini?” Dan jawabannya lagi-lagi berhubungan dengan bagaimana saya dibesarkan dulu. Saya dibesarkan dengan pola asuh yang cukup keras dan didominasi oleh banyak rasa amarah dari orangtua saya. Dan ternyata memang hal ini sangat berpengaruh besar sekali ketika saya menjadi orangtua.
Saya sadar dan paham bahwa memang mungkin saja anak saya membuat saya marah ataupun menguji kesabaran saya, tapi respon dan amarah saya seringkali berlebihan padanya. Saya pernah membaca bahwa cara kita merespon sesuatu berasal dari apa yang sudah kita pelajari dalam kehidupan kita. Ketika kita juga masih anak-anak, sangat mungkin sekali orangtua kita melakukan hal yang sama (marah berlebihan, memukul, atau melakukan kekerasan lainnya baik verbal ataupun tangan) ketika merespon kita termasuk ketika kita membuat mereka marah. Tanpa kita sadari, ada “luka”psikologis akibat kesalahan pola asuh di masa anak-anak kita, dan sekarang tidak menutup kemungkinanan anak-anak kita juga akan mengalami ‘luka’tersebut.
Ada istilah psikologis untuk hal ini yaitu, “ghost in the nursery”, yaitu ketika anak kita sendiri membangkitkan rasa amarah dan takut yang terpendam dari masa kanak-kanak kita sehingga secara tidak sadar kita bereaksi sedemikian rupa untuk menakan rasa amarah itu. Karena pada dasarnya sebelum menjadi ibu, saya merasa saya ini cukup cuek dan tidak gampang marah, tapi semua keluar ketika saya menjadi seorang ibu. Saya tidak mengatakan bahwa orangtua, Bapak saya tepatnya, adalah orangtua yang kejam. Hanya saja mungkin dia mencintai kami dengan cara yang salah dan tidak mengetahui ilmunya yang mungkin juga ia dapatkan dari orangtuanya dahulu. Bagaimanapun juga, ia tetap seorang Bapak yang baik dan bertanggugjawab.
Dan sekarang tugas saya adalah memutus mata rantai amarah ini. Ketika saya sudah tahu akar masalahnya dan penyebabnya, lebih baik saya berfokus pada solusinya, bagaimana saya dapat menyembuhkan luka saya dan mengontrol serta me-manage emosi dan rasa amarah saya lebih baik. Mudah? Jujur tidak. Saya sendiri sempat ikut workshop trauma and inner child healing, konsultasi ke psikolog, dan yang paling penting, mendekatkan diri kepada Allah, but this is a continuing healing process. Lalu apakah sudah berhasil dan saya sudah “sembuh”? Well, jujur belum sepenuhnya. Tapi, saya sendiri sekarang merasa sudah lebih baik dari sebelumnya. Ya saya sendiri menyadari, kadang tetap ada moment-moment di mana saya menjadi buruk lagi. Tapi satu yang pasti, saya harus percaya saya ini ibu yang baik yang terus belajar untuk lebih baik lagi.
Leave a Reply